14 Tahun di Penjara Suci
Islam adalah sebaik baik agama yang mengatur seluruh aspek kehidpan. Sekarang ini aku berumur 19 tahun, dulu aku memiliki kelainan aktivitas dengan teman-teman di rumah. Pada saat di taman kanak-kanak, aku disekolahkan di satu-satunya TKIT di kabupaten Magelang yang tidak ada satupun terdapat teman-teman di rumah yang bersekolah di sana. Aku harus mengenakan seragam berkerudung, sedangkan teman di rumah, dengan enaknya keluar berangkat ke sekolah tidak memakai penutup kepala. Saat itu aku tidak peduli dengan tempat aku sekolah. Sepulang sekolah aku selalu melepas kerudung dan berlari menghampiri teman di rumah. “ ardi..ardi..main masak-masakan yuuk..” teriakku di depan rumahnya. “yaa sebentaar” balasnya dari dalam rumah. Tak lama dia keluar dengan membawa peralatan mainan. Masa kecil memang masih terasa ringan untukku.
Rutinitas ini aku lakukan sampai suatu hari di tahun 2004. Lagi-lagi aku bersekolah di satu- satunya SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) di kabupaten Magelang Pada hari itu aku memutuskan untuk merubah model rambut seperti salah satu kartun paling populer pada masa itu “Dora the Explorer” dengan rambut pendek di bawah telinga dan sebuah poni di atas alis. Aku meminta bapakku untuk memotongnya. 15 menit kemudian, “gyahahahahaahaaa” kakakku yang bernama Hisyam, tertawa terbahak- bahak melihat rambutku. “apa siih?” kataku sambil mencoba menjangkaunya. “pacarnyaa bobo hoo...hahahaa”. aku hanya diam dan membayangkan pacar bobo hoo, sebenarnya dalam ada sebuah film yang tokoh utamanya adalah Bobo Hoo dan pada film tersebut ada seorang anak perempuan yang selalu mengejarnya, rambutnya mirip dengan Dora dan selalu ingusan,sampai-sampai saat tidur ingusnya dapat menggelembung seperti balon. “aaahh,. dieeemmm” aku berlari dan memukulinya beberapa kali. Aku benar-benar marah dengan kakakku yang selalu mengejekku.
Aku tidak percaya diri keluar rumah dengan rambut baruku. Sehari setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk memakai kerudung. Awalnya banyak tetangga yang melihat ke arahku ketika aku jalan “mau kemana fi?” salah satu tetanggaku tiba-tiba bertanya mengagetkanku. “itu.. ke warung sebentar kok” kataku sambil meringis. “ohh kirain kemana, pakai kerudung sih” katanya lagi. Perubahan itu memang membutuhkan waktu dan pembiasaan, dengan memakai kerudung di lingungan sekolah maupun rumah, aku merasa aman dari peringatan guru-guru di sekolah.
Tahun 2007, aku memilih sekolah asrama untuk melanjutkan jenjang menengahku. SMPIT di kabupaten Magelang. Sekolah ini hampir sama dengan pondok pesantren hanya saja di sekolah ini mempelajari pelajaran umum dan agama secara bersamaan. Tidak heran di sini aku merasa padat, sampai-sampai harus bangun sebelum subuh kalau ingin mandi sebelum berangkat sekolah. Di sinilah untuk pertamakalinya aku dididik secara disiplin. tinggal dengan teman-teman dengan berbagai macam daerah dan budaya.
Yang aku ingat ada kegiatan yang bernama mentoring yaitu sejenis sebah forum yang terdiri dari tujuh hingga sepuluh orang dimana kita diberi kajian dari mentor kami, bertukar cerita dan terkadang kita refreshing bareng. Agenda ini menyenangkan sekali karena setiap harinya kita dibebani tugas sekolah dan asrama. Contohnya dari bagian bahasa setiap bulannya akan mengadakan ujian mufrodat (kosa-kata) dari pelajaran yang telah diberikan. tidak boleh menggunakan bahasa daerah, sholat harus tepat waktu, kalau tidak yang melanggar akan dihukum dengan membaca Al-Qur’an sambil berdiri selama satu jam setelah sholat Isya di depan asrama. Tidak boleh minum kopi yang mengandung kafein, dilarang makan mi instan,minum minuman bersoda, begitulah cara sekolah mendidik kami.
Saat itu aku belum sadar bahwa yang dilakukan orang tuaku bukannya membuangku ke penjara suci ini. tetapi mendidikku dalam lingkungan islami dan secara tidak langsung aku nyaman dengan lingkungan seperti ini. Sampai saat aku mendapatkan pilihan untuk melanjutkan SMA di negeri atau swasta, dengan keputusanku dan tanpa paksaan aku melanjutkannya di satu satunya SMAIT di kabupaten Magelang. Saat itu keadaan sekolah masih sangat baru, aku baru angkatan kedua, jelas-jelas sekolahku ini belum punya cukup pengalaman meluluskan murid SMA. Sebenarnya rasa ragu ada, tetapi entah mengapa, menurutku ini adalah sekolah yang sangat baik. Semua guru benar-benar mendidik muridnya dengan ikhlas dan mencoba usaha terbaik mereka untuk mencetak lulusan yang berkualitas.
Sesuatu yang membuatku bangga bersekolah di swasta berbasis islam ini adalah dengan umur sekolah yang masih muda dan dengan gedung seadanya, dengan azzam yang kuat kami mampu bersaing dengan sekolah lain pada umumnya. Terbukti pada lomba siswa teladan se-kaupaten Magelang, sekolah kami berada di tingkat kedua setelah sekoah terbaik se Indonesia SMA Taruna Nusantara. Walaupun bukan aku yang maju tetapi rasa bahagia benar-bear hadir dalam diriku, saat aku kelas dua SMA, aku ditunjuk sebagai salah satu murid yang mengukuti debat bahasa inggris tingkat kabupaten. Aku dan dua temanku benar-benar terus berlatih setiap saat di asrama dan di waktu yang luang, kami selalu berdiskusi dan berdo’a kepada Nya agar diberikan yang terbaik. Pada saat itu bukan hanya menyiapkan debat saja tetapi juga mempersiapkan untuk Ujian Akhir Semester yan dilaksanakan sepekan setelah lomba debat. Padahal dalam lomba ini akan diambil tiga sekolah untuk mewakili kabupaten menuju lomba debat ke tingkat provinsi pada pekan selanjutnya.
Singkat cerita sekolahku lolos pada babak final, dan di sana terdapat empat sekolah yang lolos, tiga SMA swasta dan satu SMA Negeri, SMA Taruna Nusantara sekolah asrama berbasis kemiliteran, SMA Vanlith sekolah asrama berbasis Kristen, SMAN 1 Salaman dan sekolahku yang berbasis Islam, kami sadar semua ini kami lakukan untuk dakwah juga, kita harus melakukannya dengan maksimal, dan saat pengumuman pada hari itu juga, ternyata kami tidak masuk di kompetisi tingkat provinsi. Rasa kecewa karena tidak lolos dan lega karena saat UAS besok tidak akan terganggu campur aduk dalam pikiranku. “Paling tidak kita bisa bertahan sejauh ini” pikirku. Selalu ada hikmah dibalik kekalahan ini.
Saat ini aku telah duduk di bangku kuliah di sebuah universitas di Yogyakarta. Sampai sekarang pun semua yang telah diajarkan oleh semua guruku dari TK sampai SMA selalu menemani langkah hidupku, pertamakali aku mengetahui bacaan sholat saat di Taman Kanak- kanak yang sampai mati akan aku pakai. Bekal dasar ilmu umum dan agama telah ku dapatkan di Sekolah Dasar.Paham yang selama ini ditanamkan sejak SMP sampai SMA dalam setiap kajian mentoring ataupun yang sering kita sebut lingkaran kecil selalu memiliki arti tersirat yang dapat membuatku insya Allah tetap Istiqomah di jalan-Nya.
Semua yang telah diberikan di penjara suci tidak akan sia-sia. Bahkan itulah bekalku untuk menghadapi dunia yang sesungguhnya. Aku pun sadar dengan apa yang telah melanda bumi kita ini. Dan dalam pengamatanku banyak orang-orang seumuranku yang tidak banyak memahami ajaran Agama hanya akan membuang pikiran sia-sia. Pikiran kita berbeda, jarang sekali para remaja pada umumnya memiliki rasa untuk membangkitkan suasana bumi. Tetapi seseorang yang paham agama, dan selalu taat pada Allah SWT akan selalu berbuat hal yang lebih bermanfaat.
Karena semua orang tahu kalau kehidupan di dunia ini sementara, dan yang kekal itu adalah alam setelah kematian. Aku merasa disadarkan dengan keadaan seperti ini. Aku harus bermanfaat di dunia untuk membangkitkan Agamaku, karena sebenarnya itulah tujuan utama aku hidup. Kita di dunia ini harus mencari bekal amal sebanyak banyaknya untuk kehidupan yang kekal nanti. Pendidikan Islam memiliki efek samping yang membuat pelajarnya sadar akan sesuatu yang bisa saja kita lalai ketika hidup di di dunia yang sebenarnya.
Kita benar-benar akan dibentuk menjadi seorang agen perubahan masa depan. Karena kitalah harapan para orang tua. Kitalah harapan bangsa dan dunia, seseorang yang akan membawa dunia pada cahaya yang sesungguhnya. Membangkitkan agama Allah di muka bumi yang dibawa dari hati yang tulus ikhlas berjihad di jalan-Nya.