My faith
Lampu merah baru saja menyala, butuh waktu empat puluh detik untuk
menunggunya kembali hijau. Aku duduk di kursi kemudi sedangkan David di
sampingku. Selama empat puluh detik itu kami terdiam. David menatap keluar
jendela, sedangkan aku mencoba menebak apa yang sedang dia pikirkan.
“hei
apa yang sedang kau lihat? Kau baik-baik saja kan?”
“umh...ya
aku tak apa”
Terlihat
senyum yang dipaksakannya. Sudah satu pekan ini sikapnya aneh. Sepertinya dia
tak menikmati hidup ini. Jika dilihat belakangan ini karirnya di dunia tarik
suara telah mencapai puncaknya. Albumnya telah habis terjual. David selalu
menatap langit sebelum konser dimulai.
Kami telah sampai di apartemen. Kami
hanya tinggal berdua di sini. Hanya aku dan David. Bisa dibilang aku adalah
managernya. Walau kenyataannya kita telah bersahabat sejak kecil.
“hei
Abraham sedang apa kau di luar?”
“hmm...aku
hanya melakukan apa yang kau lakukan sebelum show”
David hanya tersenyum melihatku. Kemudian aku
masuk dan meletakan barangku di sofa begitu saja. Besok David ada pemotretan
boymagz. Walau begitu sampai sekarang ini dia tidak memiliki seorang pendamping.
Padahal banyak juga yang menjadi
fansnya.banyak surat-surat dari fans yang tidak dibacanya. Aku selalu
mengingatkannya, tapi dia tak peduli. David menuju kamarnya dan sekarang
giliranku mandi.
00.30 am aku melihat cahaya kamarnya
yang masih menyala. Sedang apa dia? Tanyaku dalam hati. Aku menuju ke kamarnya
perlahan. Aku membuka pintu dengan amat pelan sampai-sampai dia tak menyadari
kehadiranku.
“
David sedang apa kau? Ingat besok masih ada agenda”
“oh,
okay tenang saja Abraham”
Aku
tak percaya apa yang ku lihat. David membaca kitab? Injil?tengah malam? Aku
saja hanya membacanya saat di gereja. Yah, sudahlah semoga saja membawa hal
yang positif untuknya.
Aku membuka mata, jam berukuran besar itu menunjukkan pukul tujuh.
Aku mendengar suara gaduh dari arah dapur. Pasti David yang tengah menyiapkan
sarapan. Sudahlah aku akan melanjutkan tidurku sebentar.
“Abraham
aku tahu kau sudah bangun, ayolah kemari”
Aku
lagsung beranjak dan duduk di ruang makan. Kali ini dia tak hanya menyediakan
roti bakar tetapi juga daging panggang dan segelas kopi untukku. Aku
menunggunya selesai membereskan semuanya. “Ayo makan!” katanya bersemangat. aku
mulai dengan meminum kopiku. David memilih susu sapi untuk sarapannya. Setelah
semua beres aku menuju ke kamar dan mengganti bajuku. Kita harus datang tepat
waktu.
Kali ini David yang mengemudikan
mobil. Perjalanan menuju studio memakan waktu kurang lebih dua jam. Di dalam
mobil David mengatakan sesuatu yang membuatku tak benar benar mengerti apa yang
dia inginkan. Dia akan mengakhiri karirnya di dunia musik dan dia benar -benar
memiliki alasan mengapa dia harus melakukannya. David ingin menjadi missionaris
selama dua tahun di gereja Mormon. Setelah pemotretan dia akan mengajakku
menuju gereja Mormon. Mungkin itulah sebabnya dia amat bahagia hari ini. “ayo presiden Amerika!” katanya sebelum
menuju ke gedung studio. Aku hanya mengiyakan. Berharap tindakkannya tidak akan
membuatnya menyesal nanti.
Kami berjalan memasuki gedung aku
tak habis pikir tentangnya. Hal itu serasa mustahil dia baru berumur
21tahun pada akhir desember ini. Selama
dua tahun dia tidak pulang ke apartemen. Aku akan tinggal sendiri,oh tidak mungkin,mungkin aku akan kembali ke
Murray. Saat inipun dia tak diburu para wartawan.
“Okay, missionaries is my way” David mengatakannya
seakan akan dia benar-benar akan meninggalkan dunia musik. Aku tidak tahu apa
yang harus aku lakukan karena itu memang benar-benar jalannya. pihak gereja
mengatakan David harus datang dua hari lagi untuk melakukan proses berikutnya.
Dan itu artinya aku harus segera pergi ke Canada. Besok aku akan memesan
tiketnya.
“Abraham,
maukah kau tinggal di aparetmenku selama aku berada di sana?”
“uhm…sesuai
rencanaku aku akan kembali ke Murray selama kau dikarantina”
“baiklah…aku
tidak akan memaksamu” katanya sambil tersenyum ke arahku.
Sebenarnya
aku merasa iri berada dekatnya, David selalu menjadi yang terbaik di mata orang
lain. Tapi haruskah dia menjadi missionaris? Yang harus dikarantina selama dua
tahun lamanya tanpa kontak dari teman ataupun keluargannya?. yah...itulah
David.
Aku David James Archuleta. Pada
tagggal 13 maret 2011 aku memtuskan untuk meninggalkan dunia tarik suara dan
aku akan mulai untuk mengabdi pada Tuhan. Ku langkahkan kedua kaki ini menuju
sebuah gereja bernama Mormon dan akan ku habiskan dua tahunku di sana. Aku tak
peduli apa yang dipikirkan Abraham tentangku. Aku harus melakukan semua ini.
Mungkin aku adalah satu-satunya bintang yang menjadi seorang missionaris. Aku
tidak kuat menghadapi duniaku sekarang ini. Mungkin Abraham menganggap aku
adalah makhluk yang gila yang telah meninggalkan puncak karirku. Memang
mubadzir rasanya tetapi aku ingin hidup dengan tenang walaupun tanpa ketenaran yang aku miliki.
Kurasa jika aku menjadi missionaris nanti aku akan mendapatkan ketenangan yang
aku harapkan.
Tak ku sangka beberapa hari aku
tinggal di sini semua tampak biasa saja aku tak merasakan kebahagian itu.
Kemana lagi aku akan mencarinya. Setiap hari aku menelaah begitu banyak buku
kristiani dan juga belajar dari semua
pastur yang aku kenal di sini. Sampai aku mengunjungi suatu tempat suci untuk
tiga agama. Yerussalem adalah tempat suci dan sakral yang sangat terkenal di
dunia ini. Apalagi tentang apa yang sedang terjadi antara orang-orang israel
dan muslim. Sebenarnya siapa yang salah di antara mereka berdua kenapa agamaku
sendiri ikut dalam barisan Israel itu?
Kenapa kita tidak berbagi tempat dengan orang muslim itu?.
Saat itu aku sedang diajak Austin, seorang yahudi asli yang menjadi
guideku, kali ini kita menuju bangunan besar berkubah batu yang sering disebut
masjid Al- Aqsha dan tak jauh dari tempat itu, sebuah tembok yang tampak kokoh
terbentang di sepanjang mataku memandang. Banyak orang-orang yahudi yang meratapinya , berdoa dan hal apapun yang ingin
mereka utarakan. Sebenarnya aku sudah mengetahuinya tapi tetap saja guideku ini
menerangkan. Anehnya dalam tour ini aku diajak guideku untuk memasuki sebuah
pintu yang berhubungan langsung dengan masjid
Al-Aqsha. Tapi bukan menuju lantai utama masjid melainkan ke arah bawah tanah.
“ Hey Austin, ke arah mana pintu ini?”
“suatu tempat yang sangat
seru!”katanya tanpa menoleh ke arahku dan terus berjalan.
Saat pertama aku melihat ruangan yang penuh dengan lampu yang
berjajar di sepanjang lorong di bawah masjid ini, aku bukannya senang malahan
aku heran dan merasa aneh dengan semua ini. Apakah orang-orang muslim itu mengizinkannya?.
Aku mendengar nada-nada musik di lorong itu, semakin jelas saat kami tiba di
suatu ruangan yang lebih mirip seperti sebuah discotic. Ketika aku melihat apa
yang mereka lakukan saat itu, aku ingin menangis dan sesegera mungkin aku ingin
pergi dari tempat seperti ini.bukannya ini tempat ibadah para orang-orang
muslim? Aku memang bukan seorang muslim, tapi semua ini sudah keterlaluan.
“Austin... kau tetap disini, aku akan ke atas sebentar”
Austin tersenyum mengiyakan dan kembali berjoget dengan
teman-temannya yang lain. Segera aku keluar dari tempat itu, sesampainya di
atas aku melihat banyak sekali tentara Amerika yangberjajar dengan sangat rapi
di depan jeruji besi yang mengelilingi masjid Al-Aqsha. Aku mengintip ke
celah-celah jeruji itu dan menemukan orang-orang yang membuat barisan dan sesekali melakukan
gerakan lain. Aku memilih duduk di emperan sebuah bekas rumah yang pastinya
tidak berpenghuni itu. Sampai aku melihat seorang muslim berjalan keluar dari
area masjid berjalan menuju ke arahku .
“ sedang apa kau di depan rumahku?”
“umph...maaf”
Aku pikir tak adayang menghuninya. Orang-orang di sini nadanya suka
membentak. Orang tua berjenggot itu kembali keluar rumah dan duduk di
sampingku.
“kau sedang mengadakan tour?”
“iyya, bahasa inggris mu bagus...kau seorang muslim yang bertahan
tinggal di sini?”
“begitulah...hanya istri dan anak-anakku saja yamg berada di tempat
yang lebih aman.”
“siapa nama anda?”
“Ahmad. Dan kau? Kau terlihat bingung di sini, mana guide mu?”
“oh, namaku David, dia sedang berada di bawah bangunan itu”
Dia terdiam cukup lama. Aku tahu apa yang sedang ia pikirkan,
tanahnya, harga dirinya dan bagaimana mengatasi semua hal ini. Aku memualai
pembicaraan tetang apa yang ku lihat di bawah tadi. Dia hanya terdiam dan
mencoba memahami perkataanku. Akku melihat air mata di pelipis matanya dan aku
tak tega untuk menceritakannya. Sesaat aku terdiam dan melihatnya mengambil
kitabnya lalu membacanya sambil gemetaran. Aku menunggunya.sekitar setengah jam
dia membacanya.
“maaf, aku hanya ingin menenangkan diri”
Aku tersenyum ke arahnya. Jika dia tahu aku ingin sekali meminjam
kitabnya itu. Tak lama setelah itu
To be continued
0 komentar:
Posting Komentar