Rabu, 30 Oktober 2013

MY FAITH (cerpen)



My faith
Lampu merah baru saja menyala, butuh waktu empat puluh detik untuk menunggunya kembali hijau. Aku duduk di kursi kemudi sedangkan David di sampingku. Selama empat puluh detik itu kami terdiam. David menatap keluar jendela, sedangkan aku mencoba menebak apa yang sedang dia pikirkan.
“hei apa yang sedang kau lihat? Kau baik-baik saja kan?”
“umh...ya aku tak apa”
Terlihat senyum yang dipaksakannya. Sudah satu pekan ini sikapnya aneh. Sepertinya dia tak menikmati hidup ini. Jika dilihat belakangan ini karirnya di dunia tarik suara telah mencapai puncaknya. Albumnya telah habis terjual. David selalu menatap langit sebelum konser dimulai.
            Kami telah sampai di apartemen. Kami hanya tinggal berdua di sini. Hanya aku dan David. Bisa dibilang aku adalah managernya. Walau kenyataannya kita telah bersahabat sejak kecil.
“hei Abraham sedang apa kau di luar?”
“hmm...aku hanya melakukan apa yang kau lakukan sebelum show”
 David hanya tersenyum melihatku. Kemudian aku masuk dan meletakan barangku di sofa begitu saja. Besok David ada pemotretan boymagz. Walau begitu sampai sekarang ini dia tidak memiliki seorang pendamping. Padahal banyak juga yang  menjadi fansnya.banyak surat-surat dari fans yang tidak dibacanya. Aku selalu mengingatkannya, tapi dia tak peduli. David menuju kamarnya dan sekarang giliranku mandi.
            00.30 am aku melihat cahaya kamarnya yang masih menyala. Sedang apa dia? Tanyaku dalam hati. Aku menuju ke kamarnya perlahan. Aku membuka pintu dengan amat pelan sampai-sampai dia tak menyadari kehadiranku.
“ David sedang apa kau? Ingat besok masih ada agenda”
“oh, okay tenang saja Abraham”
Aku tak percaya apa yang ku lihat. David membaca kitab? Injil?tengah malam? Aku saja hanya membacanya saat di gereja. Yah, sudahlah semoga saja membawa hal yang positif untuknya.
Aku membuka mata, jam berukuran besar itu menunjukkan pukul tujuh. Aku mendengar suara gaduh dari arah dapur. Pasti David yang tengah menyiapkan sarapan. Sudahlah aku akan melanjutkan tidurku sebentar.
“Abraham aku tahu kau sudah bangun, ayolah kemari”
Aku lagsung beranjak dan duduk di ruang makan. Kali ini dia tak hanya menyediakan roti bakar tetapi juga daging panggang dan segelas kopi untukku. Aku menunggunya selesai membereskan semuanya. “Ayo makan!” katanya bersemangat. aku mulai dengan meminum kopiku. David memilih susu sapi untuk sarapannya. Setelah semua beres aku menuju ke kamar dan mengganti bajuku. Kita harus datang tepat waktu.
            Kali ini David yang mengemudikan mobil. Perjalanan menuju studio memakan waktu kurang lebih dua jam. Di dalam mobil David mengatakan sesuatu yang membuatku tak benar benar mengerti apa yang dia inginkan. Dia akan mengakhiri karirnya di dunia musik dan dia benar -benar memiliki alasan mengapa dia harus melakukannya. David ingin menjadi missionaris selama dua tahun di gereja Mormon. Setelah pemotretan dia akan mengajakku menuju gereja Mormon. Mungkin itulah sebabnya dia amat bahagia hari ini.  “ayo presiden Amerika!” katanya sebelum menuju ke gedung studio. Aku hanya mengiyakan. Berharap tindakkannya tidak akan membuatnya menyesal nanti.
            Kami berjalan memasuki gedung aku tak habis pikir tentangnya. Hal itu serasa mustahil dia baru berumur 21tahun  pada akhir desember ini. Selama dua tahun dia tidak pulang ke apartemen. Aku akan tinggal sendiri,oh  tidak mungkin,mungkin aku akan kembali ke Murray. Saat inipun dia tak diburu para wartawan.
“Okay, missionaries is my way” David mengatakannya seakan akan dia benar-benar akan meninggalkan dunia musik. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan karena itu memang benar-benar jalannya. pihak gereja mengatakan David harus datang dua hari lagi untuk melakukan proses berikutnya. Dan itu artinya aku harus segera pergi ke Canada. Besok aku akan memesan tiketnya.
            “Abraham, maukah kau tinggal di aparetmenku selama aku berada di sana?”
            “uhm…sesuai rencanaku aku akan kembali ke Murray selama kau dikarantina”
            “baiklah…aku tidak akan memaksamu” katanya sambil tersenyum ke arahku.
Sebenarnya aku merasa iri berada dekatnya, David selalu menjadi yang terbaik di mata orang lain. Tapi haruskah dia menjadi missionaris? Yang harus dikarantina selama dua tahun lamanya tanpa kontak dari teman ataupun keluargannya?. yah...itulah David.
            Aku David James Archuleta. Pada tagggal 13 maret 2011 aku memtuskan untuk meninggalkan dunia tarik suara dan aku akan mulai untuk mengabdi pada Tuhan. Ku langkahkan kedua kaki ini menuju sebuah gereja bernama Mormon dan akan ku habiskan dua tahunku di sana. Aku tak peduli apa yang dipikirkan Abraham tentangku. Aku harus melakukan semua ini. Mungkin aku adalah satu-satunya bintang yang menjadi seorang missionaris. Aku tidak kuat menghadapi duniaku sekarang ini. Mungkin Abraham menganggap aku adalah makhluk yang gila yang telah meninggalkan puncak karirku. Memang mubadzir rasanya tetapi aku ingin hidup dengan tenang  walaupun tanpa ketenaran yang aku miliki. Kurasa jika aku menjadi missionaris nanti aku akan mendapatkan ketenangan yang aku harapkan.
            Tak ku sangka beberapa hari aku tinggal di sini semua tampak biasa saja aku tak merasakan kebahagian itu. Kemana lagi aku akan mencarinya. Setiap hari aku menelaah begitu banyak buku kristiani dan juga belajar dari  semua pastur yang aku kenal di sini. Sampai aku mengunjungi suatu tempat suci untuk tiga agama. Yerussalem adalah tempat suci dan sakral yang sangat terkenal di dunia ini. Apalagi tentang apa yang sedang terjadi antara orang-orang israel dan muslim. Sebenarnya siapa yang salah di antara mereka berdua kenapa agamaku sendiri  ikut dalam barisan Israel itu? Kenapa kita tidak berbagi tempat dengan orang muslim itu?.   
Saat itu aku sedang diajak Austin, seorang yahudi asli yang menjadi guideku, kali ini kita menuju bangunan besar berkubah batu yang sering disebut masjid Al- Aqsha dan tak jauh dari tempat itu, sebuah tembok yang tampak kokoh terbentang di sepanjang mataku memandang. Banyak orang-orang yahudi yang  meratapinya , berdoa dan hal apapun yang ingin mereka utarakan. Sebenarnya aku sudah mengetahuinya tapi tetap saja guideku ini menerangkan. Anehnya dalam tour ini aku diajak guideku untuk memasuki sebuah pintu yang berhubungan langsung dengan  masjid Al-Aqsha. Tapi bukan menuju lantai utama masjid melainkan ke arah bawah tanah.
“ Hey Austin, ke arah mana pintu ini?”
“suatu  tempat yang sangat seru!”katanya tanpa menoleh ke arahku dan terus berjalan.
Saat pertama aku melihat ruangan yang penuh dengan lampu yang berjajar di sepanjang lorong di bawah masjid ini, aku bukannya senang malahan aku heran dan merasa aneh dengan semua ini. Apakah orang-orang muslim itu mengizinkannya?. Aku mendengar nada-nada musik di lorong itu, semakin jelas saat kami tiba di suatu ruangan yang lebih mirip seperti sebuah discotic. Ketika aku melihat apa yang mereka lakukan saat itu, aku ingin menangis dan sesegera mungkin aku ingin pergi dari tempat seperti ini.bukannya ini tempat ibadah para orang-orang muslim? Aku memang bukan seorang muslim, tapi semua ini sudah keterlaluan.
“Austin... kau tetap disini, aku akan ke atas sebentar”
Austin tersenyum mengiyakan dan kembali berjoget dengan teman-temannya yang lain. Segera aku keluar dari tempat itu, sesampainya di atas aku melihat banyak sekali tentara Amerika yangberjajar dengan sangat rapi di depan jeruji besi yang mengelilingi masjid Al-Aqsha. Aku mengintip ke celah-celah jeruji itu dan menemukan orang-orang yang  membuat barisan dan sesekali melakukan gerakan lain. Aku memilih duduk di emperan sebuah bekas rumah yang pastinya tidak berpenghuni itu. Sampai aku melihat seorang muslim berjalan keluar dari area masjid berjalan menuju ke arahku .
“ sedang apa kau di depan rumahku?”
“umph...maaf”
Aku pikir tak adayang menghuninya. Orang-orang di sini nadanya suka membentak. Orang tua berjenggot itu kembali keluar rumah dan duduk di sampingku.
“kau sedang mengadakan tour?”
“iyya, bahasa inggris mu bagus...kau seorang muslim yang bertahan tinggal di sini?”
“begitulah...hanya istri dan anak-anakku saja yamg berada di tempat yang lebih aman.”
“siapa nama anda?”
“Ahmad. Dan kau? Kau terlihat bingung di sini, mana guide mu?”
“oh, namaku David, dia sedang berada di bawah bangunan itu”
Dia terdiam cukup lama. Aku tahu apa yang sedang ia pikirkan, tanahnya, harga dirinya dan bagaimana mengatasi semua hal ini. Aku memualai pembicaraan tetang apa yang ku lihat di bawah tadi. Dia hanya terdiam dan mencoba memahami perkataanku. Akku melihat air mata di pelipis matanya dan aku tak tega untuk menceritakannya. Sesaat aku terdiam dan melihatnya mengambil kitabnya lalu membacanya sambil gemetaran. Aku menunggunya.sekitar setengah jam dia membacanya.
“maaf, aku hanya ingin menenangkan diri”
Aku tersenyum ke arahnya. Jika dia tahu aku ingin sekali meminjam kitabnya itu. Tak lama setelah itu
To be continued

0 komentar:

Posting Komentar